Minggu, 05 Februari 2012

Hasil Belajar Siswa

1. Pengertian Hasil Belajar.

Untuk memperoleh pengertian yang obyektif tentang hasil belajar, terutama belajar di sekolah, perlu dirumuskan secara jelas dari kata di atas, karena secara etimologi hasil belajar terdiri dari dua kata, yaitu hasil dan belajar. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, hasil adalah sesuatu yang ada (terjadi) oleh suatu kerja, berhasil sukses (Hartono, 1996:53)

Sementara menurut R. Gagne hasil dipandang sebagai kemampuan internal yang menjadi milik orang serta orang itu melakukan sesuatu (Winke, 1999:100)

Adapun pengertian belajar secara etimologis berasal dari kata “ajar” yang mendapat awalan “ber” dan merupakan kata kerja yang mempunyai arti berusaha memperoleh kepandaian. Adapun secara terminologis para pakar pendidikan yang mendefinisikan tentang belajar sebagaimana akan penulis uraikan di bawah ini, yaitu :
  1. Menurut James O. Witaker yang dikutif oleh Wasty Soemanto (2003:104) belajar dapat didefinisikan sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman.
  2. Menurut Howard L. Kingsley yang dikutif oleh Wasty Soemanto (2003:104) belajar adalah proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau latiha.
Belajar merupakan proses dasar dari perkembangan hidup manusia (Soemanto, 2003:1104).
Timbulnya keanekaragaman pendapat para ahli tersebut di atas adalah fenomena perselisihan yang wajar karena adanya perbedaan titik pandang. Selain itu, perbedaan antara satu situasi belajar dengan situasi belajar lainnya yang diamati oleh beberapa ahli dapat menimbulkan perbedaan pandangan, situasi belajar menulis, misalnya, tentu tidak sama dengan situasi belajar matematika. Namun demikian, dalam beberapa hal tertentu yang mendasar, mereka sepakat seperti dalam penggunaan istilah “berubah” dan tingkah laku (Slameto, 1991:2)

Bertolak dari berbagai definisi yang telah diutarakan di atas secara umum belajar merupakan proses yang menghasilkan perubahan tingkah laku, maka untuk menghasilkan tingkah laku harus melalui tahapantahapan tertentu yang disebut proses belajar.
Dari definisi di atas penulis simpulkan bahwa hasil belajar adalah suatu hasil yang telah dicapai setelah mengalami proses belajar mengajar atau setelah mengalami interaksi dengan lingkungannya guna memperoleh ilmu pengetahuan dan akan menimbulkan perubahan tingkah laku yang relatif menetap dan tahan lama.

2. Arti Penting Belajar

Belajar adalah key term (istilah kunci) yang paling vital dalam setiap usaha pendidikan, sehingga tanpa belajar sesungguhnya tak pernah ada pendidikan. Sebagai suatu proses, belajar hampir selalu mendapat tempat yang luas dalam berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan upaya kependidikan, misalnya psikologi pendidikan, karena demikian pentingnya arti belajar (Syah, 2008:94).

Belajar juga memainkan peranan yang penting dalam mempertahankan kehidupan sekelompok manusia (bangsa) di tengah- tengah persaingan yang semakin ketat di antara bangsa-bangsa lainnya yang lebih dahulu maju karena belajar. Akibat persaingan tersebut, kenyataan tragis juga bisa terjadi karena belajar. Contoh, tidak sedikit orang pintar menggunakan kepintarannya untuk mendesak bahkan menghancurkan kehidupan orang lain (Syah, 2008:94).

Meskipun ada dampak negatif dari hasil belajar, sekelompok manusia tertentu, kegiatan belajar tetap memiliki arti penting. Alasannya, seperti yang telah dikemukakan di atas, belajar itu berfungsi sebagai alat mempertahankan kehidupan manusia. Artinya, dengan ilmu dan teknologi hasil belajar kelompok manusia tertindas itu juga digunakan untuk membangun benteng pertahanan (Syah, 2008:95)
Selanjutnya dalam perspektif keagamaanpun, belajar merupakan kewajiban bagi setiap muslim dalam rangka memperoleh ilmu pengetahuan, sehingga derajat kehidupannya meningkat. Hal ini dinyatakan dalam surat al-Mujadalah ayat 1.

Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu:” berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah, niscaya allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakkan:”berdirilah untuuk kamu, maka berdirilah, maka Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara mu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (Depag, tt:543).

Berdasarkan pertimbangan tadi, kita sebagai calon guru yang profesional seyogyanya melihat hasil belajar siswa dari berbagai sudut kinerja psikologis yang utuh dan menyeluruh. Untuk mencapai hasil belajar yang ideal maka kemampuan para pendidik terutama guru dalam membimbing belajar murid-muridnya amat dituntut. Jika guru dalam keadaan siap dan memiliki profesiensi (berkemampuan tinggi) dalam menunaikan kewajibannya, harapan terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas sudah tentu akan tercapai (Syah, 2006:30).

3. Jenis-jenis Belajar

Hasil belajar berupa prestasi belajar atau kinerja akademik yang dinyatakan dengan skor atau nilai, pada prinsipnya pengungkapannya hasil belajar ideal itu meliputi segenap rannah psikologis yang berupa akibat pengalaman dan proses belajar (Syah, 2006:22)

Dalam tujuan pendidikan yang ingin dicapai kategori dalam bidang ini yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor, ketiga aspek tersebut tidak dapat dipisahkan karena sebagai tujuan yang hendak dicapai, dengan kata lain tujuan pengajaran dapat dikuasai siswa dalam mencapai tiga aspek tersebut, dan ketiganya adalah pokok dari hasil belajar, menurut “Taksonomi Bloom” diklasifikasikan pada tiga tingkatan domain (Syah, 2006:22), yaitu sebagai berikut

1. Jenis hasil belajar pada bidang kognitif
        Istilah kognitif berasal dari cognition yang bersinonim dengan kata knowing yang berarti pengetahuan, dalam arti luas kognisi adalah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuaan (Sukardi, 1983:22).Menurut paraahli psikologi kognitif, aspek kognitif ini merupakan sumber sekaligus sebagai pengendali aspek-aspek yang lain, yakni aspek afektif dan juga aspek psikomotorik.

Dengan demikian jika hasil belajar dalam aspek kogniitif tinggi maka dia akan mudah untuk berfikir sehingga ia akan mudah memahami dan meyakini materi-materi pelajaran yang di berikan kepadanya serta mampu menangkakp pelan-pelan moral dan nilai-nilai yang terkandung didalam materi tersebut. Sebaliknya, jika hasil belajar kognitif rendah maka ia akan sulit untuk memahami materi tersebut untuk kemudian diinternalisasikan dalam dirinya dan diwujudkan dalam perbuatannya (Sukardi, 1983:22).

Jenis hasil belajar aspek kognitif ini meliputi enam kemampuan atau kecakkapan antara lain:
  • Pengetahuan (knowladge). Adalah kemampuan seseorang untuk mengingat-ingat kembali (recall) atau mengenali kembali tentang nama, istilah, ide, gejala, rumus-rumus dan sebagainya
  • Pemahaman (comprehension). Adalah kemampuan seseorang untuk mengerti dan memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui ddan di ingat.
  • Penerapan atau aplikasi (apliccation). Adalah kesanggupan seseorang untuk menerangkan atau meggunakan ide-ide umum, tata cara, ataupun metode-metode, prinsip-prinsip, rumus-rumus, teori-teori dan sebagainya, dalam situasi yang kongkrit.
  • Analisis (analysis). Adalah kemampuan seseorang untuk merinci attau menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagian-bagian dan faktor-faktor yang satu dengan faktor yang lainnya.
  • Sintensis (syntensis). Adalah suatu proses yang memadukan bagian-bagian atau unsur-unsur secara logis sehingga menjelma menjadi suatu pola yang berstruktur atau berbentuk pola baru.
  • Penilaian dan evaluasi (evaluation). Adalah kemampuan seseorang untuk membuat pertimbangan terhadap situasi, nilai atau ide atau kemampuan untuk mengambil keputusan (menentukan nilai) sesuatu yang dipelajari untuk tujuan tertentu (Sudijono, 1996:50).
2. Jenis hasil belajar pada bidang afektif.
Aspek afektif berkenaan dengan perubahan sikap dengan hasil belajar dalam aspek ini diperoleh melalui internalisasi, yaitu suatu proses kearah pertumbuhan bathiniyah atau rohaniyah siswa, pertumbuhan terjadi ketika siswa menyadari suatu nilai yang terkandung dalam pengajaran agama dan nilai-nilai itu dijadikkan suatu nilai system diri “nilai diri” sehingga menuntun segenap pernyataan sikap, tingkah laku dan perbuatan untuk menjalani kehidupan.

Adapun beberapa jenis kategori jenis aspek afektif sebagai hasil belajar adalah sebagai berikut :
  • Menerima (receiving), yaitu semacam kepekaan dalam menerima rancangan (stimuli) dari luar yang datang dari siswa, baik dalam bentuk masalah situasi, gejala, dalam tipe ini termasuk kesadaran, keinginan untuk menerima stimulus, control dan seleksi gejala atau rangsangan dari luar.
  • Jawaban (responding), yaitu reaksi yang diberikan seseorang terhadap stimulisasi yang datang dari luar, dalam hal ini termasuk ketepatan reaksi, perasaan, kepuasan dan menjawab stimulus dari luar yang dating kepada dirinya.
  • Penilaian (valuing), yaitu berkenaan dengan nillai dan kepercayaan terhadap gejala atau stimulus tadi, dalam evaluasi ini termasuk didalamnya kesediaan menerima nilai, dan kesepakatan terhadap nilai tersebut
  • Organisasi (organization), yaitu pengembangan nilai kedalam satu system organisasi, termasuk menentukan hubungan satu nilai dengan nilai lain dan kemantapan, dan prioritas nilai yang telah dimilikinya, yang termasuk dalam organisasi ialah konsep tentang nilai, organisasi dari padda sistem nilai.
  • Karakteristik (characterization), yaitu keterpaduan dan semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang, yang mempengarui pola kepribadian, tingkah lakunya, disini termasuk nilai dan karakteristiknya (Sudjana, 1995:53).
3. Jenis hasil belajar pada bidang psikomotorik
Aspek psikomorik berhubungan dengan keterampilan yang bersifat fa’aliyah kongkrit, walaupun demikian hal itupun tidak terlepas dari kegiatan belajar yang bersifat mental (pengetahuan dari sikap), hasil belajar dari aspek ini adalah merupakan tingkah laku yang dapat diamati.

Adapun mengenai tujuan dari psikomotorik yang dikembangkan oleh Simpson (1966-1967) sebagai berikut :
  • Persepsi, yaitu penggunaan lima panca indra untuk memperoleh kesadaran dalam menerjemahkan menjadi tindakan.
  • Kesiapan, yaitu keadaan siap untuk merespon secara mental, fisik, dan emosional.
  • Respon terbimbing, yaitu mengembangkan kemampuan dala aktifitas mencatat dan membuat laporan.
  • Mekanisme, yaitu respon fisik yang telah dipelajari menjadi kebiasaan.
  • Adaptasi, yaitu mengubah respon dalalm stimulasi yang baru.
  • Organisasi, yaitu menciptakan tindakan-tindakan baru (Hamalik, 1992:92).
4. Indikator Hasil Belajar

Indikator yang dijadikan tolak ukur dalam menyatakan bahwa suatu proses belajar mengajar dikatakan berhasil, berdasarkan ketentuan kurikulum yang disempurnakan, dan yang saat ini digunakkan adalah :
  1. Daya serap terhadap bahan pelajaran yang telah diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik secara individu maupun kelompok.
  2. Perilaku yang digariskan dalam tujuan pengajaran atau intruksional khusus (TIK) telah dicapai siswa baik secara individu maupun secara kelompok (Utsman, 1993:3).
Demikian dua macam tolak ukur yang dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan tingkat keberhasilan proses belajar mengajar. Namun yang banyak dijadikan sebagai tolak ukur keberhasilan dari keduanya ialah daya serap siswa terhadap pelajaran.

5. Tingkat keberhasilan

Setiap proses belajar mengajar selalu menghhasilkan hasil belajar, masalah yang dihadapi ialah sampai ditingkat mana prestasi (hasil) belajar yang telah dicapai, sehubungan dengan hal inilah keberhasilan belajar dibagi menjadi beberapa tingkatan atau taraf, antara lain sebagai berikut :
  1. Istimewa/maksimal : apabila seluruh bahan pelajaran yang telah diajarkan dapat dikuasai siswa.
  2. Baik sekali/optimal : apabila sebagian besar (76% sd 99%) bahan pelajaran yang telah dipelajari dapat dikuasai siswa
  3. Baik/minimal : apabila bahan pelajaran yang telah diajarkan hanya (60% sd 75%) dikuasai siswa.
  4. Kurang : apabila bahan pelajaran yang telah diajarkakn kurang dari 60% yang dikuasai siswa (Djamarah, 1996:121).
Dengan melihat data yang terdapat dalam daya serap siswa dalam pelajaran dan presentasi keberhasilan siswa dalam mencapai TIK tersebut, dapat diketahui tingkat keberhasilan proses belajar mengajar yang telah dilakukan siswa dan guru.

6. Penilaian

Penilaian merupakan suatu proses kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkkan data tentang proses dan hasil belajar siswa, kegiatan penilaian tersebut dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan belajar siswa setiap waktu.

Oleh sebab itu penilaian harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan (Rahim, 2005:74).
Hasil proses penilaian itu dijadikakn sebagai bahan pertimbangan bagi guru apakah siswa perlu diberikan pengayaan atau remedial, kalau seseorang mengidentifikasikan kemampuan yang lebih maka bisa diberikan pengayaan, sedangkkan seorang siswa yang belum menunjukkan hasil belajar seperti yang diharapkan maka perlu diberikan remedial, pemberian remidial diberikan untuk indicator hasil belajr yang dikuasai siswa.
Dalam penilaian ada beberapa kriteria atau hal-hal yang perlu diperhatikan, antara lain :
  1. Penilaian harus mencakup tiga aspek kemampuan, yaitu aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap.
  2. Penilaian menggunakan berbagai cara, misalnya : observasi, wawancarra, konferensi (pertemuan), portofolio, tes dan mengajukan pertanyaan.
  3. Tujuan penilalian terutama dimaksudkan untuk memberikan umpan balik kepada siswa, memberikan informasi kepada siswa tentang tingkat kemajuan (keberhasilan) belajarnya, dan memberikan laporan kepada orang tuanya.
  4. Alat penilaian harus mendorong siswa untuk menggunakan penalaran dan membangkitkan keaktifan siswa.
  5. Penilalian harus dilalukan berkelanjutan, agar kemajuan belajar siswa bisa dimonitor terus menerus.
  6. Penilaian harus bersifat adil,setiap siswa mendapatkan kesempatan yang sama untuk meningkatkan kemampuannya (Rahim, 2005: 77).
7. Faktor-faktor yang mempengarui hasil belajar

Secara global faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu: 1) Faktor Internal ( faktor dari dalam siswa) yakni keadaan jasmani dan rohani siswa. 2) Faktor Eksternal (faktor dari luar siswa) yakni kondisi lingkungan disekitar siswa. 3) Faktor pendekatan belajar (aproach to learning) yakni jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran (Syah,…….:132).
  1. Faktor Internal Siswa
Faktor yang berasal dari dalam diri siswa sendiri meliputi dua aspek yakni aspek fisiologis dan aspek psikologis.
  • Aspek Fisiologis
Faktor fisiologis inimasih dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:
  1. Keadaan tonus jasmani pada umumnya. Keadaan tonus jasmani pada umumnya ini dapat dikatakan melatar belakangi aktivitas belajar, keadaan jasmani yang segar akan lain pengaruhnya dengan keadaan jasmani yang kurang segar. Keadaan jasmani yang lelah lain pengaruhnya daripada yang tidak lelah. Dalam hubungan dengan hal ini ada dua hal yang perlu dikemukakan.
  2. Nutrisi harus cukup.Karena kekurangan kadar makanan ini akan mengakibatkan kurangnya tonus jasmani, yang pengaruhnya dapat berupa kelesuan lekas mengantuk, lekas lelah dan sebagainya. Terlebih bagi anak yang masih sangat mudah pengaruh itu besar sekali. 
  3. Beberapa penyakit yang kronis sangat mengganggu belajar itu. Penyakit-penyakit seperti pilek, influenza, sakit gigi, batuk dan sejenis itu biasanya diabaikan karena dipandang tidak cukup serius untuk mendapatkan perhatian dan pengobatan akan tetapi dalam kenyataannya penyakit semacam ini mengganggu aktivitas belajar.
  4. Keadaan fungsi-fungsi jasmani tertentu terutama fungsi panca indera. Panca indera dapat dimisalkan sebagai pintu gerbang masuknya pengaruh kedalam individu. Orang mengenal sekitarnya dan belajar dengan menggunakan panca inderanya, baiknya berfungsi panca indera merupakan syarat dapatnya belajar itu berlangsung dengan baik (Suryabrata, 2008:235-236).
  • Aspek Psikologis
Banyak faktor yang termasuk aspek psikologis yang dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas perolehan pembelajaran siswa,namun diantara faktor-faktor rihaniah siswa yang pada umumnya dipandang lebih esensial itu adalah sebagai berikut: tingkat kecerdasan atau inteligensi siswa, sikap siswa, bakat siswa, minat siswa, motivasi siswa.
  1. Inteligensi dan bakat. Intelegensi pada umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan secara tepat. Sedangkan bakat adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang pada masa yang akan datang. Kedua aspek kejiwaan (psikis) ini besar pengaruhnya terhadap kemampuan belajar. Seseorang yang mempunyai inteligensi baik (IQ-nya tinggi) umumnya mudah belajar dan hasilnya pun cenderung mengalami kesukaran dalam belaja, lambat berfikir sehingga prestasi belajarnya pun rendah. Bakat juga besar pengaruhnya dalam menentukan keberhasilan belajar. Misalnya belajar main piano, apabila dia memiliki bakat musik, akan mudah dan cepat pandai dibandingkan dengan orangyang tidak memiliki bakat itu (Dalyono, 2007:55).Selanjutnya, bila seseorang yang mempunyai inteligensi tinggi dan bakatnya ada dalam bidang yang dipelajari, maka proses belajarnya akan lancar dan sukses bila dibandingkan dengan orang yang memiliki bakat saja tetapi inteligensinya rendah. Demikian pula jika dibandingkan dengan orang yang inteligensinya tinggi tetapi bakatnya tidak ada dalam bidang tersebut, orang berbakat lagi pintar (inteligensi tinggi) biasanya orang tersebut sukses dalam karirnya (Dalyono, 2007:55) 
  2. Minat dan Motivasi. Secara sederhana, minat (interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Menurut Reber, minat tidak termasuk istilah populer dalam psikologi karena ketergantungan yang banyak pada faktor-faktor internal lainnya seperti pemusatan perhatian, keingintahuan, motivasi dan kebutuhan. Seperti yang dipahami dan dipakai oleh orang selama ini dapat mempengaruhi kualitas pencapaian hasil belajar siswa dalam bidang studi tertentu.Motivasi ialah keadaan internal organisme, baik manusia maupun hewan yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Dalam pengertian ini, motivasi berarti pemasok daya (energizer) untuk bertingkah laku secara terarah. Dalam perkembangan selanjutnya, motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: Pertama, Motivasi interistik. Yaitu hal dan keadaan yang berasal dari diri siswa sendiri yang dapat mendorongnya melakukan tindakan belajar termasuk dalam motivasi interistik siswa adalah perasaan menyenangi materi dan kebutuhan terhadap materi tersebut. Kedua, Motivasi ekstrinsik. Yaitu hal dan keadaan yang dating dari luar individu siswa yang juga mendorong siswa untuk belajar, pujian dan hadiah, peraturan atau tata tertib sekolah. Suri teladan orang tua, guru dan seterusnya merupakan contoh-contoh konkret motivasi ekstrinsik yang dapat menolong siswa untuk belajar (Dalyono, 2007: 57). 
  3. Sikap Siswa. Sikap adalah gejala yang berdimensi efektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespon dengan cara yang relatif terhadap obyek orang, barang dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif, sikap siswa yang positifterutama kepada guru dan mata pelajaran yang akan disajikan merupakan pertanda awal yang baik bagi proses belajar siswa tersebut. Sebaliknya, sikap negatif siswa terhadap guru, apalagi jika didiring kebencian terhadap mata pelajaran dan guru dapat menimbulkan kesulitan belajar siswa dan prestasi yang dicapai siswa akan kurang memuaskan.
2. Faktor eksternal siswa
Seperti faktor internal siswa, faktor eksternal siswa juga terdiri atas dua macam, yakni: yakni faktor sosial dan faktor non sosial.
  • Faktor lingkungan sosial. Lingkungan sosial adalah seperti para guru, staf adminisrasi, dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi hasil belajar siswa, para guru yang selalu menunjukkan sikap dan prilaku yang simpatik dan memperlihatkan suri tauladan yang baik khususnya dalam hal belajar Selanjutnya yang termasuk dalam lingkungan sosial siswa adalah masyarakat dengan tetangga, dan juga teman-teman sepermainan di lingkungan siswa tersebut, lingkungan kumuh yang serba kekurangan akan mempengaruhi aktivitas belajar mereka. Lingkungan sosial yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar ialah orang tua dan keluarga siswa itu sendiri. Sifat-sifat orang tua, praktik penegelolaan keluarga, ketegangan keluarga, dan demografi keluarga (letak rumah), semuanya dapat memberi dampak baik atupun buruk terhadap kegiatan belajar dan hasil yang dicapai oleh siswa. 
  • Faktor Lingkungan Non Sosial. Faktor-faktor yang termasuk lingkungan non sosial ialah gedung sekolah dan letaknya, alat-alat belajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan oleh siswa. Faktor-faktor ini dipandang turut menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. Contoh: kondisi rumah yang sempit dan berantakanserta perkampungan yang terlalu padat dan tidak memiliki sarana umum untuk kegiatan remaja (seperti lapangan voli) akan mendorong siswa untuk berkeliaran ketempat-tempat yang sebenarnya tidak pantas dikunjungi, kondisi rumah dan perkampungan seperti itu jelas berpengaruh burukterhdap kegiatan belajar siswa. 
Khusus mengenai waktu yang disenangi untuk belajar seperti pagi atau sore hari, seorang ahli bernam J Biggers berpendapat bahwa belajar pada pagi hari lebih efektif daripada pelajar pada waktu-waktu lainnya. Namun menurut penelitian beberapa ahli (gaya belajar) hasil belajar itu tidak bergantung waktu secara mutlak tetapi tergantung pada pilihan waktu yang cocok dengan kesiapan siswa. 
Dengan demikian, waktu yang digunakan siswa untuk belajar yang selama ini sering dipercaya berpengaruh terhadap hasil prestasi belajar siswa, tidak perlu dihiraukan lagi. Sebab, bukan waktu yang pentinng dalam belajar melainkan kesiapan sistem memori siswa dalam belajar melainkan kesiapan system memori siswa dalam menyerap, mengelola dan menyimpan itemitem informasi dan pengetahuan yang dipelajari siswa.
c. Faktor pendekatan belajar
Pendekatan belajar, seperti yang telah diuraikan dapat dipahami sebagai segala cara atau strategi yang digunakan siswa dalam menunjang efektivitas dan efesiensi proses pembelajaran materi tertentu. Strategi dalam hal ini berarti seperangkat langkah profesional yang direkayasa sedemikian rupa untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan belajar tertentu.
Disamping faktor-faktor internal dan eksternal siswa sebagimana yang telah dipaparkan, faktor pendekatan belajar juga berpengaruh terhadap taraf keberhasilan proses pembelajaran siswa tersebut. Seorang siswa yang terbiasa mengaplikasikan pendekatan belajar, misalnya; mungkin sekali berpeluang untuk prestasi belajar yang bermutu siswa yang menggunakan pendekatan belajar surface atau reproductive (Syah, ……:155).
Referensi:
Depdiknas, (2004).Kurikulum Berbasis Kompetensi. Depdiknas, Jakarta.
Djamarah, Saeful Bahri. Aswan Zain.(2008). Strategi belajar mengajar.RinekaCipta, Jakarta.
Kunandar.(2007),Guru Profesional PT Raja GrafindoPersada, Jakarta.
Syah, Muhibbin. (2006)PsikologiBelajar. PT Raja GrafindoPersada, Jakarta.
Silberman, Melvin. (1996) Active Learning: 101 Strategi Pembelajaran Aktif Pustaka Insan Madani,Yogyakarta.
Trianto.(2007). Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientas iKonstruktivis.Prestasi Pustaka, Jakarta

Jumat, 03 Februari 2012

Pengertian Pendidikan Akhlak

Istilah pendidikan berasal dari kata “didik” yang diberi awalan “pe” dan akhiran “kan” mengandung arti perbuatan (hal, cara, dan sebagainya). Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu “paedagogie”, yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak (Ramayulis, 2002:2). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia seperti dikutif oleh Sholehudin (2010:2) pendidikan berasal dari kata dasar “didik” yang berarti memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran, kata bendanya “pendidikan” yang berarti proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui usaha pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan dan cara mendidik.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Sholehuddin, 2010:2).

Ibrahim Amini dalam bukunya agar tak salah mendidik mengatakan bahwa, pendidikan adalah memilih tindakan dan perkataan yang sesuai, menciptakan syarat-syarat dan faktor-faktor yang diperlukan dan membantu seorang individu yang menjadi objek pendidikan supaya dapat dengan sempurna mengembangkan segenap potensi yang ada dalam dirinya dan secara perlahan-lahan bergerak maju menuju tujuan dan kesempurnaan yang diharapkan (Amini, 2006:5).

Menurut Athiyah al-Abrasyi seperti dikutip Ramayulis, .pendidikan (Islam) adalah untuk mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya baik dengan lisan atau tulisan (Ramayulis, 2002:3).

Dalam pengertian yang agak luas, pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Pendapat lain mengatakan bahwa pendidikan berarti tahapan kegiatan yang bersifat kelembagaan (seperti sekolah dan madrasah) yang digunakan untuk menyempurnakan perkembangan individu dalam menguasai pengetahuan, kebiasaan, sikap dan sebagainya. Pendidikan dapat berlangsung secara informal dan nonformal di samping secara formal seperti di sekolah, madrasah, dan institusi-institusi lainnya (Syah, 2004:11).

Dengan demikian pendidikan berarti, segala usaha orang dewasa baik sadar dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan menuju terciptanya kehidupan yang lebih baik.

Dalam masyarakat Islam sekurang-kurangnya terdapat tiga istilah yang digunakan untuk menandai konsep pendidikan, yaitu tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Istilah tarbiyah menurut para pendukungnya berakar pada tiga kata. Pertama, kata raba yarbu yang berarti bertambah dan tumbuh. Kedua, kata rabiya yarba berarti tumbuh dan berkembang. Ketiga, rabba yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga dan memelihara. Kata al-Rabb, juga berasal dari kata tarbiyah dan berarti mengantarkan sesuatu kepada kesempurnaannya secara bertahap atau membuat sesuatu menjadi sempurna secara berangsur-angsur (Aly, 1999:4).

Istilah lain yang digunakan untuk menunjuk konsep pendidikan dalam Islam ialah ta’lim. Ta’lim adalah proses pembelajaran secara terus menerus sejak manusia lahir melalui pengembangan fungsi-fungsi pendengaran, penglihatan dan hati. Proses ta’lim tidak berhenti pada pencapaian pengetahuan dalam wilayah kognisi semata, tetapi terus menjangkau wilayah psikomotor dan afeksi.

Sedangkan kata ta’dib seperti yang ditawarkan al-Attas ialah pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkatan dan derajat tingkatannya serta tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmani, intelektual, maupun rohani seseorang. Dengan pengertian ini mencakup pengertian ‘ilm dan ‘amal (Aly, 1999:

Selanjutnya definisi akhlak. Kata “akhlak” berasal dari bahasa Arab. Kata pokok (dasar) akhlak adalah khalaqa, khaliqun dan makhluqun dengan kata sifatnya akhlaqun (Salim, 1985:11). Sedangkan akhlak menurut bahasa berarti perangai, tabiat, watak dasar kebiasaan, sopan dan santun agama. Sedangkan secara linguistik kata “akhlak” merupakan isim jamid atau isim ghairu mustaq, yaitu isim yang tidak mempunyai akar kata, melainkan kata tersebut begitu adanya. Kata “akhlak” merupakan jamak dari kata khilqun atau khuluq dengan arti yang sama seperti telah disebutkan diatas. Di dalam Alquran kata “akhlak” diartikan sebagai budi pekerti dan adat kebiasaan (Ardani, 2011:25).

Adapaun definisi akhlak menurut istilah banyak dikemukakan oleh para ahli dan pemikir islam, baik pada jaman klasik maupun kontemporer. Berikut ini beberapa definis akhlak yang dikemukakan oleh para ahli seperti dikutif oleh Mohamad Ardani (2001: 27-29) sebagai berikut:

1.Ibnu Miskawih

Ibnu Miskawih sebagai ilmuwan muslim yang sangat terkemuka sebagai pakar akhlak dalam kitabnya Tahdzibul Akhlak mengatakan bahwa akhlak adalah “sikap yang tertanam dalam jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan lagi”. Menurut konsep beliau akhlak adalah suatu konsep mental yang dimiliki oleh seseorang yang mendorongnya untuk melakukan suatu perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Sikap jiwa yang dimiliki oleh seseorang ini bisa bersumber dari watak naluri dan ada pula yang berasal dari kebiasaan atau latihan.

2.Imam Al Ghazali
Menurut Imam Al Ghazali sebagai salah satu ulama besar yang bergelar hujjatul islam akhlak tidak hanya sebatas sikaf keutamaan yang bersifat pribadi, tetapi mencakup sejumlah sifat keutamaan akal, amal, perorangan dan masyarakat. Menurut beliau akhlak adalah suatu sikap yang tertanam dan mengakar dalam jiwa seseorang yang dapat melahirkan berbagai perbuatan tanpa harus mempertimbangkan terlebih dahulu. Jika sikap tersebut melahirkan perbuatan baik menurut akal dan hukum agama, maka disebut sebagai akhlak yang baik. Dan jika yang melahirkan perbuatan tercela, disebut sebagai akhlak yang buruk. Akhlak hanya memuat dua hal tersebut, yaitu baik dan buruk.

3.Al Farabi
Al Farabi sebagai salah satu pemikir muslim tidak ketinggalan memberikan definisi akhlak. Menurut beliau akhlak adalah tingkah laku yang dilakukan untuk memperoleh kebahagiaan yang merupakan tujuan tertinggi dan diinginkan oleh setiap orang.

Dari berbagai definisi aklahk diatas nampak jelas sekali bahwa akhlak merupakan suatu sifat yang tertanam kuat di dalam jiwa seseorang yang terlihat dalam perbuatan sehari-harinya, tanpa didahului oleh pemikiran dan pertimbangan Dengan demikian dari definisi pendidikan dan akhlak di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak adalah usaha sadar dan tidak sadar yang dilakukan oleh seorang pendidik untuk membentuk tabiat yang baik pada seorang anak didik, sehingga terbentuk manusia yang taat kepada Allah. Pembentukan tabiat ini dilakukan oleh pendidik secara kontinue dengan tidak ada paksaan dari pihak manapun.

Perkembangan Siswa SD/MI

Usia siswa Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah berkisar antara usia 7 - 12 tahun. Pada usia ini siswa mengalami perkembangan pada hal-hal sebagai berikut:

A. Perkembangan Fisik-Motorik
Usia ini ditandai dengan pergerakan motorik yang lincah. Sehingga pada usia ini merupakan saat yang tepat untuk belajar berbagai keterampilan motorik, baik maotorik halus maupun motorik kasar. Motorik halus misalnya; menulis, menggambar, mengetik, merupa, menjahit, membuat kerajinan dari kertas dan lain-lain. Motorik kasar misalnya; belajar baris berbaris, seni bela diri, senam, berenang, atletik dan lain-lain.

Mengingat perkembangan siswa yang seperti itu, maka sekolah harus menyiapkan berbagai sarana dan prasaran yang menunjang untuk perkembangan motorik siswa. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Sekolah merancang pelajaran keterampilan yang bemanfaat bagi siswa
2. Sekolah harus memberikan pelajaran senam atau olahraga kepada siswa
3. Sekolah harus merekrut atau mengangkat guru yang sesuai dengan kebutuhan siswa
4. Sekolah menyiapkan sarana untuk keberlangsungan penyelenggaran pelajaran
tersebut, seperti alat-alat keterampilan, dan alat-alat olahraga.

B. Perkembangan Intelektual
Pada usia Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah anak sudah dapat mereaksi rangsanagan intelektual. Di usia ini siswa sudah mampu melaksanakan tugas-tugas belajar yang memerlukan kemampuan intelektual serta kemampuan kognitif. Berdasarkan perkembangan kognitif yang dikembangkan oleh Piaget usia SD/MI berada pada tahap operasi konkret yang ditandai dengan hal-hal sebagai berikut:
1. Siswa mampu mengklasifikasikan (mengelompokkan)
2. Siswa mampu menyusun atau mengasosiasikan seperti menghubungkan atau menghitung
3. Siswa mampu memecahkan masalah yang sederhana

Dengan perkembangan yang demikian, maka pada usia ini siswa sudah cukup untuk diberi berbagai kecakapan yang berguna untuk mengembangkan pola pikirnya. Kepada anak harus sudah diajarkan berbagai dasar-dasar keilmuan, seperti membaca, menulis dan berhitung (CALISTUNG. Sekolah harus memberikan fasilitas dan pelayanan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuannya. Misalnya dengan menyelenggarakan berbagai kegiatan yang mendorong kreativitas siswa, seperti; lomba mengarang, menggambar, melukis, membaca puisi, berpidato serta cerdasa cermat.

C. Perkembangan Bahasa
Siswa SD/MI merupakan masa berkembangnya kemampuan mengenal dan menguasai perbendaharaan kata. Dengan kemampuan ini anak sudah gemar membaca dan mendengarkan cerita yang bersifat kritis. Misalnya tentang petualangan, perjalanan atau riwayat hidup. Tingkat berpikir anak pada saat ini sudah lebih maju dan sudah mampu menghubungkan masalah sebab-akibat, sehingga anak banyak melakukan pertanyaan.

Untuk menunjang perkembangan bahasa anak, di sekolah siswa harus diajarkan bahasa ibu dan bahasa Indonesia bahkan bahasa asing. Dengan diberikannya berbagai bahasa tersebut, anaka akan mempergunakannya untuk:
1. Berkomunikasi secara baik dengan orang lain
2. Mengekspresikan pikian, perasaan, sikap atau pendapatnya
3. Memahami isi dari setiap bahan bacaan

Supaya perkembangan bahasa anak tidak hanya maju dalam bentuk bahasa lisan, anak perlu diajarkan pula keterampilan bahasa tulisan. Cara yang dapat dikembangkan oleh guru/sekolah adalah dengan melatih anak supaya membuat karangan atau tulisan tentang berbagai hal yang ia ketahui, pengalaman hidupnya sendiri, dan lain-lain.

D. Perkembangan Emosi
Emosi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi perilaku individu termasuk pula dalam proses belajar. Emosi positif seperti perasaan senang, gembira, bergairah, bersemangat atau rasa ingin tahu akan mendorong siswa untuk berkonsentasi pada aktivitas belajarnya. Siswa akan berusaha untuk memperhatikan penjelasan guru, melaksanakan tugas, membaca buku, berdiskusi, disiplin dalam belajar dan lain-lain.

Namun bila yang menyertai siswa merupakan emosis yang negatif, maka hal ini akan menjadi penghambat terhadap perkembangan siswa. Misalnya perasaan tidak senang, kecewa, kurang bergairah, dan malas. Denga emosi seperti itu, siswa dimungkinkan akan menemui kegagalan dalam perkembangan belajarnya.

Oleh karena itu, sekolah atau gur harus melakukan berbagai langkah untuk mendukung perkembangan emosi siswa, supaya emosi yang berkembang merupakan emosi positif. Guru harus menyelenggarakan kegiatan pembelajaran yang menyenangkan. Upaya yang bisa dikembangkan oleh guru, misalnya:
1. Mengembangkan iklim kelas yang bebas dari ketegangan.
2. Memperlakukan siswa sebagai pribadi yang memiliki harga diri.
3. Memberikan nilai secara aktif dan objektif.
4. Menciptakan kondisi kelas yang tertib, bersih dan sehat.

E. Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial pada siswa SD/MI ditandai dnegan adanya perluasan hubungan. Ia tidak hanya berhubungan dengan anggota keluarganya, melainkan sudah memiliki teman sebaya. Ia sudah mulai memiliki kesanggupan untuk menyesuaikan diri dari sikap egosentis menjdi kooperatif atau sosiosentirsi. Siswa dapat menyesuaikan diri dengan kelompok teman sebayanya.

Perkembangan sosial siswa disekolah bisa dikembangkan dengan cara melaksanakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan orang lain. Misalnya belajar berdiskusi, tugas kelompok dan lain-lain. Tugas kelompok ini harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan prestasinya dan mencapai tujuan bersama. Dengan pola belajar seperti ini, siswa akan mampu menghargai dirinya dan kelompoknya.

F. Perkembangan Kesadaran Beragama
Pada masa ini perkembangan kesadaran beragam anak masih bersifat reseptif namun sudah disertai dengan pengertian. Paham dan pandnagan tentang Tuhan diperolehnya secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang ia temui pada alam semesta. Kepercayaan siswa pada usia SD/MI bukan berdasarkan pemikiran, melainkan sikap emosi yang berhubungan erat dengan kebutuhan jiwa akan kasih sayang dan perlindungannya.

Untuk memupuk perkembangan kesadaran beragama anak, guru harus mengenalkan Allah dengan sifat kasih sayang kepada sesama, jangan mengenalkan Allah dengan sifat-sifat yang menghukum atau mengazab kepada orang yang melakukan kesalahan. Pada usia ini perkembangan agama anak masih bersifat statis berdasarkan sosialisasi orang tua, guru danlingkungannya.

Berdasarkan hal tersebut maka pendidikan agama di SD/MI harus menjadi perhatian semua pihak yang terkait, bukan hanya guru dan orang tua, tetapi semua orang yang melakukan kontak langsung dengan kehidupan siswa. Semua orang harus memberikan suri tauladan yang baik kepada anak, sehingga anak dapat menirunya.

Sumber:
Syamsu Yusuf L.N dan Nani M. Sugandhi (2011). Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Raja Grafindo Persada.